Jakarta, sehatnews – Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam mengeliminasi Tuberkulosis (TBC), penyakit menular yang merenggut nyawa 125.000 orang setiap tahunnya.
Dengan lebih dari satu juta kasus aktif, Indonesia menjadi negara dengan kasus TBC tertinggi kedua di dunia setelah India. Sejumlah provinsi, seperti Jawa, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan, menjadi daerah dengan beban kasus terbesar, masing-masing mencatat lebih dari 40.000 kasus.
Menyadari ancaman serius ini, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan RI menegaskan perlunya percepatan dalam penanggulangan TBC.
Direktur Penyakit Menular Kemenkes, dr. Ina Agustina, menyampaikan bahwa jika tidak ada langkah konkret, target eliminasi TBC pada 2030 akan sulit tercapai.
“Setiap jam, 14 orang meninggal akibat TBC di Indonesia. Kita harus bergerak bersama untuk menghentikan penyebaran penyakit ini,” ujar dr. Ina dalam temu media, Senin (24/3/2025).
Pemerintah telah mencatat 889 ribu notifikasi kasus TBC pada 2024. Namun, tingkat inisiasi pengobatan TBC sensitif obat (SO) baru mencapai 81%, masih di bawah target 90%. Sementara itu, keberhasilan pengobatan TBC resisten obat (RO) masih jauh dari harapan, hanya 58% dari target 80%.
Sebagai langkah konkret, Kemenkes mengadopsi enam strategi utama dalam penanggulangan TBC. Strategi ini mencakup penguatan promosi dan pencegahan, pemanfaatan teknologi diagnostik modern seperti X-ray portable dan Tes Cepat Molekuler, serta integrasi data antara rumah sakit dan Puskesmas untuk mempercepat deteksi dan pengobatan.
Peran Pemerintah Daerah dalam Eliminasi TBC
Selain upaya dari sektor kesehatan, peran pemerintah daerah menjadi faktor penentu keberhasilan eliminasi TBC. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), melalui perwakilannya Dr. TBC Chaerul Dwi, menekankan pentingnya keterlibatan aktif daerah dalam mencapai target pengurangan kasus hingga 50% dalam lima tahun mendatang.
“Pemerintah daerah harus memastikan anggaran dan kebijakan yang berpihak pada percepatan eliminasi TBC. Ini bukan hanya isu kesehatan, tetapi juga masalah sosial dan ekonomi,” ungkap Dr. Chaerul.
Untuk mendukung langkah ini, telah dibentuk Tim Percepatan Penanggulangan TBC (TP2TB) di 21 provinsi dan 142 kabupaten/kota. Pemerintah juga berupaya mendorong pemanfaatan dana desa dan kolaborasi lintas sektor agar strategi penanggulangan dapat berjalan secara efektif hingga tingkat akar rumput.
Peran Komunitas dalam Mengatasi Tantangan TBC
Selain pemerintah, komunitas juga berperan penting dalam mempercepat eliminasi TBC. Deputi Perwakilan WHO di Indonesia, dr. Momoe Takeuchi, menekankan bahwa TBC bukan sekadar isu medis, melainkan juga masalah sosial, ekonomi, dan hak asasi manusia.
“Komunitas berperan dalam deteksi dini, pendampingan pengobatan, hingga edukasi masyarakat. Mereka adalah garda terdepan dalam mengatasi stigma yang masih melekat pada pasien TBC,” kata dr. Momoe.
Perwakilan komunitas TBC, dr. Henry Diatmo, mengungkapkan bahwa program berbasis komunitas telah menjangkau 160 kabupaten/kota dan akan diperluas menjadi 229 wilayah pada 2025. Salah satu pencapaian signifikan adalah kontribusi komunitas dalam 29% dari total kasus yang ter-notifikasi di wilayah intervensi.
Namun, tantangan terbesar bagi komunitas adalah keterbatasan pendanaan. Oleh karena itu, mereka mendorong pemerintah dan sektor swasta untuk lebih banyak berinvestasi dalam program eliminasi TBC, termasuk dalam penyediaan alat diagnostik, teknologi digital, serta perlindungan sosial bagi pasien TBC agar mereka bisa menyelesaikan pengobatan tanpa hambatan ekonomi.
Pengembangan Vaksin TBC
Selain deteksi dan pengobatan, solusi jangka panjang dalam eliminasi TBC terletak pada pengembangan vaksin yang lebih efektif.
Prof. Erlina, peneliti utama nasional vaksin TBC, menyampaikan bahwa vaksin kandidat M72/AS01E kini tengah menjalani uji klinis fase 3 secara global, termasuk di Indonesia.
“Jika berhasil, vaksin ini bisa menjadi terobosan dalam pencegahan TBC paru pada remaja dan dewasa, menjadikannya vaksin pertama dalam lebih dari satu abad yang memiliki efektivitas tinggi,” jelas Prof. Erlina.
WHO memperkirakan bahwa penggunaan vaksin ini dalam jangka panjang dapat menyelamatkan hingga 8,5 juta jiwa dan mencegah 76 juta kasus baru, serta menghemat biaya kesehatan hingga USD 41,5 miliar bagi keluarga terdampak.
Eliminasi TBC bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau tenaga kesehatan semata, tetapi membutuhkan keterlibatan seluruh elemen masyarakat.
Mulai dari kebijakan yang kuat di tingkat nasional dan daerah, inovasi teknologi medis, pendanaan yang memadai, hingga peran aktif komunitas dan individu dalam pencegahan serta pengobatan.
Dengan langkah konkret dan kolaborasi yang lebih erat, Indonesia dapat mewujudkan target eliminasi TBC pada 2030, dan pada akhirnya mencapai visi bebas TBC pada 2050.